Sunday, June 12, 2011

Ada Apa dengan Kebun Part 16 (repost)

Part 16 : Dengan Sebuah Sejarah Di Dalamnya...

Benar-benar berbeda dengan Rio dan Ify, perjalanan pedekate Alvin ke Sivia berjalan lancar, sangat lancar malah. Ehm, dan juga tidak ada perkembangannya. Jadi… setelah perjalanan Rio sukses, akankan perjalanan Alvin ikut sukses?
****

Sender : Rio

Gua jadian sama Ify! Elo juga harus usaha ya!

Alvin tertawa kecil saat menerima sms dari Rio. Ternyata sahabatnya itu berani juga untuk mengungkapkan perasaannya pada Ify. Tapi seketika senyumnya memudar. Ia juga teringat akan Sivia.

Masa iya gua juga mesti nembak Sivia? Pikir Alvin ragu. Ia melangkah keluar kamar dan menuruni tangga. Saat kaki Alvin menapaki anak tangga terakhir, harum manis cokelat tiba-tiba tercium.

“Mama masak cokelat yaaaa?” tanya Alvin setengah berteriak, ia mulai menambah kecepatan langkahnya menuju dapur.

Di dapur, mama Alvin tersenyum kepadanya, tangannya masih sibuk mengaduk sesuatu di panci, sepertinya lelehan—atau adonan cokelat.

“Kamu tau aja kalo mama bikin cokelat! Sini, bantuin mama bikinnya” suruh Mama Alvin lembut. Alvin menurut, ia mengambil alih sendok kayu dari tangan mamanya, lalu menggantikan mamanya untuk mengaduk lelehan cokelat itu.

Saat Alvin sibuk mengaduk lelehan cokelat, tiba-tiba saja wajah Sivia terbayang di kepalanya. Membuat Alvin tersenyum. Sivia kan suka cokelat… pikirnya.

Seketika itu juga sebuah ide terbesit di otaknya.

“Ma, cokelat ini mau dibikin jadi cokelat apa?” tanya Alvin.

Mama Alvin tersenyum saat mendengar pertanyaan anaknya yang sepertinya mengharapkan sesuatu.

“Alvin maunya cokelat ini dibuat jadi apa?” tanya Mama Alvin balik.

Alvin tersenyum-senyum sendiri sambil terus mengaduk lelehan cokelat,“Yaa… jadi cokelat biasa aja. Tapi dihias pake tulisan gitu… pake marzipan bisa gak, Ma?”

“Bisa sih. Nanti mama yang ngehias pake marzipan. Kamu mau pake cetakan apa?” Mama Alvin menatap rak piring tempat dimana cetakan-cetakan cokelat berada.

Alvin menunjuk salah satu cetakan yang berbentuk bulat. Ya, bulat, tidak usah berbentuk hati.

Lalu Alvin dan mamanya sibuk membuat cokelat di dapur. Senyum Alvin terus terkembang, apalagi saat mamanya mengizinkannya untuk menghias sendiri cokelat itu.

Yaaah… walaupun hasilnya agak berantakan. Tapi proses pembuatan cokelat itu didominasi oleh Alvin.

Mamanya hanya membantu sedikit-sedikit.

“Mau dikasih siapa sih, Vin?” tanya mama Alvin penasaran. Tak biasanya anaknya ini tiba-tiba mau ikut membuat cokelat.

Alvin tersenyum menatap mamanya. Ia memang tidak bisa berbohong pada mamanya, tapi… kalau dibilang untuk mengungkapkan perasaan… apa tidak terlalu jujur?

“Buat cewek, Ma” jawab Alvin singkat. Kembali menekuni kegiatannya, yaitu menghias cokelat.

Mama Alvin tersenyum, ia menyadari perubahan senyum Alvin. bukan senyum ceria seperti biasanya, tapi kini senyuman malu. Pasti Alvin sedang jatuh cinta.

“Mama tau kok. Kasih ini, Vin, di cokelatmu” suruh Mama Alvin, menyodorkan sebatang cokelat tanpa merk. Yang diterima Alvin dengan heran.

"Ini apa?” tanya Alvin heran, menatap cokelat yang kini ada di genggamannya.

“Itu…” jelas Mamanya, “Cokelat khusus. Rasanya enaaaaak banget, bisa bikin yang makan jadi bahagia. Karena, waktu mama bikin cokelat itu, perasaan mama lagi bahagia! Ingat, Vin, perasaan seseorang bisa mempengaruhi rasa dalam masakannya… ”

Alvin menatap cokelat itu ragu, tapi toh ia mengambil pisau untuk mengiris-iris cokelat itu menjadi serpihan kecil, lalu ia taburkan di atas cokelatnya yang sudah jadi.

Alvin lalu meraih satu kotak kosong, lalu dengan hati-hati ia masukkan cokelatnya ke dalam kotak itu. Mama Alvin hanya tersenyum.

***

“Alvin pergi dulu ya Ma!” pamit Alvin setelah ia berganti baju, bersiap menemui Sivia. Di tangannya tersampir sebuah kantong kertas berisi cokelat yang akan ia berikan khusus untuk Sivia.

“Iya, hati-hati ya…” pesan mamanya sambil tersenyum.

Alvin segera berlari ke arah garasi untuk mengambil sepeda balapnya. Ehm… sebenarnya bisa saja ia meminta sopirnya untuk mengantar, tapi… ah sudahlah, pokoknya Alvin berniat memakai sepedanya saja.

Saat memakai helm khas pembalap sepeda, Alvin merasakan hp nya bergetar, ia meraih hp itu lalu membaca sms yang masuk. Oh, ternyata sms Sivia yang menyanggupi ajakan Alvin untuk bertemu di taman perumahannya.

Alvin tersenyum lagi. Ya, ia akan mengumpulkan seluruh keberaniannya. Untuk tujuannya.

***

Alvin menyandarkan sepedanya di salah satu pohon, taman perumahan. Ia melepaskan helm ala pembalap sepeda seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru taman.

Hmm… Alvin melihat seseorang yang sedang duduk di salah satu bangku di tengah taman. Sivia. Alvin meraih kantong kertasnya dan berlari kecil menuju Sivia. Sivia tersenyum melihat Alvin.

“Maaf ya, Siv… Elo jadi kelamaan nunggu…” ucap Alvin seraya duduk di bangku yang berhadapan dengan Sivia. Sivia tertawa kecil, “Nggak apa-apa Vin! Terus… mau ngapain nih? Setau gua, udah semenjak SD dulu kita temenan tapi baru kali ini elo ngajak ketemu beduaan” tanya Sivia, lantas terbahak.

Alvin hanya menunjukkan cengiran lebarnya, otaknya masih sibuk memikirkan kata-kata yang cocok untuk basa-basi.

“Emm… ini, Siv” ujar Alvin pelan, menyodorkan kantong kertas yang sedari tadi digenggamnya erat-erat, mencoba menggapai keberanian dari sana.

Alvin bisa melihat dahi Sivia yang berkerut, tapi toh Sivia menarik pelan kantong kertas itu. Lalu ditariknya keluar sebuah kotak berukuran sedang dari dalam sana.

“Cokelat?” tanya Sivia pelan, terselip kegirangan di perkataannya tadi. Alvin mengangguk cepat sambil tersenyum.

“Iya, tadi… engg… tadi… mama bikinin buat elo” jawab Alvin setengah berbohong.

“Buat gua nih? Boleh gua makan?” tanya Sivia bersemangat, matanya berbinar saat melihat ada hiasan namanya di atas cokelat itu.

“Boleh lah. Itu kan buat elo” jawab Alvin, berusaha menahan senyumnya saat melihat ekspresi Sivia yang sangat bersemangat.

Sivia memotong cokelat itu dengan tangannya dan memasukkan sepotong kecil cokelat ke dalam mulutnya. Kelihatan jelas bahwa Sivia sangat menikmati cokelat itu.

“Enak, Vin. Beneran! Nih, elo cobain!” tawar Sivia, mendorong cokelat itu pelan ke Alvin. Alvin juga memotong cokelat itu dengan tangannya dan memasukkan potongannya ke mulutnya.

Jadilah mereka berdua bersama-sama menikmati cokelat yang berukuran sedang itu.

***

“Hmm… enak banget Vin cokelatnya! Makasih banyak ya…” ucap Sivia saat cokelat itu sudah habis tak bersisa.

“Iya, Siv. Sama-sama, eh elo beneran penggila cokelat ya? Cokelat apa aja elo makan” komentar Alvin sambil tersenyum geli.

“Iya dong, cokelat itu yang bisa ngerubah perasaan gua. Yang tadinya gua kesel, jadi seneng, yang tadinya gua males, jadi rajin. Pokoknya cokelat itu selalu nemenin gua!” sahut Sivia gembira.

“Kalo seandainya udah nggak ada cokelat di dunia ini?” tanya Alvin, setengah menggoda.

Sivia mencibir, “Gua bakalan mati kali” sahutnya cuek.

Raut muka Alvin seketika berubah. Ia teringat maksudnya.

“Kalo gitu bisa nggak gua yang jadi pengganti cokelat buat elo?” tanya Alvin, wajahnya berubah serius.

“Emang elo mau gua makan?” tanya Sivia balik, bercanda.

“Serius ini Siv!” tukas Alvin. Sivia segera duduk tegak dan menanggapi perkataan Alvin dengan lebih serius.

“Maksud lo?”

“Ya…” Alvin memulai penjelasannya, “Kan tadi elo bilang kalo cokelat yang selalu nemenin elo. Cokelat kan bisa abis di toko, atau pabriknya bangkrut gitu… Gua bisa nggak jadi pengganti cokelat buat elo? Gua bisa nggak jadi orang yang nemenin elo terus?” Alvin kini sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya selama ini. Sekarang hanya bagaimana tanggapan Sivia saja.

Sivia terpaku. Berbeda dengan Ify, Sivia lebih peka dengan hal-hal seperti ini. Dan ia sadar ebtul bahwa tadi itu, adalah ungkapan hati seorang Alvin. Dengan kata yang lebih simpel, Alvin-baru-saja-menembaknya.

“Jadi? Gua boleh jadi pengganti cokelat? Gua bisa lebih dari sekadar pengganti cokelat, Siv. Cokelat bikin elo jadi semangat lagi, dan gua bakalan bikin hidup elo yang jadi lebih berwarna” lanjut Alvin lagi. Menatap mata Sivia yang kini tengah terpaku.

Sivia-tidak-bisa-bergerak-ataupun-berkata-sesuatu. Ia hanya terpaku. Yaaah… mungkin memang tidak seromantis adegan di film, atapun cerita di novel. Tapi… entah kenapa ketika Alvin mengungkapkan hal itu kepadanya, itulah cara yang jujur, dan tak bertele-tele.

“Jadi? Gua boleh jadi pengganti cokelat?” tanya Alvin lagi, meminta sebuah kepastian dari Sivia yang masih terpaku. Sivia mulai merasakan semburat panas yang menjalar sampai ke kuping. Oh, apa lagi yang harus ia katakan? Ia tak ingin menolaknya! Tapi ia tak bisa berkata apa-apa!

Sivia mengangguk kecil. Lalu mengangguk mantap lagi untuk kedua kalinya, diiringi senyuman manisnya. Alvin tersenyum lega melihat reaksi Sivia.

“Makasih ya Siv…” ucap Alvin pelan, ia menyodorkan sebatang cokelat kecil yang sedari tadi disimpannya di saku celana.

Sivia menerima cokelat itu dan melambaikannya tepat di sebelah telinganya,“Lebih dari cokelat ya, Vin…”

“Iya, lebih dari cokelat, dan akan bikin hari-hari selanjutnya makin berwarna” ucap Alvin lagi.

Sivia tersenyum, Alvin tersenyum. Di hadapan mereka berdua ada sebuah kotak bekas cokelat yang menyimpan sejarah antara mereka berdua… Dan tak akan terlupakan…

*****

No comments:

Post a Comment