Sunday, June 12, 2011

Ada Apa dengan Kebun Part 11 (repost)

Part 11 : Perubahan Rio, Kebahagiaan Alvin

Karena kelewat emosi, Ify membentak Rio yang berniat menghibur Ify. Rio tak menyangka Ify bertindak seperti itu. Rio pergi begitu saja. Adakah yang mau mengalah untuk meminta maaf?
****

Rio benar-benar tak habis pikir. Ia-benar-benar-tidak-sengaja. Dan haruskah Ify membentaknya seperti itu?!

Oke, Rio laki-laki. Ia tak mungkin cengeng, atau menangis gara-gara hal kecil seperti ini. Kali ini ia mencoba mendinginkan otak. Mencoba berpikir mengapa Ify marah seperti itu.

Oh-oh. Sepertinya pantas kalau Ify marah. Di telinga seorang cewek, yang sedang drop karena kehilangan seseorang, mungkin kata-kata Rio tadi dianggap kurang ajar. Apalagi, Rio adalah orang baru di hidup Ify.

Rio berdecak kesal, lalu membalikkan badannya. Sebetulnya ia masih berdiri beberapa meter dari rumah Ify. Hanya saja, Ify sudah tak bisa melihat Rio lagi di jarak
semacam itu. Haruskah ia minta maaf? Kata-kata itu terngiang di kepala Rio saat dia memikirkan Ify. Rio mendesah kesal, memutuskan untuk meminta pendapat Alvin. Rio melangkah menuju rumah Alvin yang berada tepat di sebelah rumah Ify.

TING TONG…

Rio memijit bel itu hanya sekali, tapi Alvin sudah menyambutnya di depan pintu sambil tersenyum sumringah.

“Hei! Kenapa, Yo?” sapa Alvin ramah, tangannya memberi kode agar Rio masuk ke dalam.

“Gua dibentak Ify. Terus sekarang dia marah” ujar Rio langsung. Ia malas kalau harus berbasa-basi.

Ekspresi Alvin berubah kaget, tapi hanya sesaat. Secepat itukah Rio dan Ify harus bermusuhan lagi?

“Masuk ke kamar gua deh. Cerita aja. Ehm, bi, tolong buatkan minuman ya, terus tolong antar ke kamar saya. Makasih, bi” ujar Alvin pada pembantunya, begitulah Alvin. Selalu meminta tolong dan mengucapkan terima kasih. Tidak peduli dengan status orang itu. Bibinya mengangguk sambil tersenyum.

***

Di kamar, dengan segelas es jeruk di tangannya, Rio menceritakan kejadian di kebun Ify tadi, dengan lesu. Ia sudah capek. Untungnya hari belum sore, masih ada waktu bagi Rio untuk meminta pendapat Alvin.

Alvin mendengarkan cerita Rio dengan seksama. Sesekali mengangguk kecil, atau menggeleng-gelengkan kepalanya.

“… Jadi gitu, Vin” Rio mengakhiri ceritanya sebelum meneguk es jeruknya lagi. Alvin tampak berpikir sebentar, lalu bersiap untuk berkomentar.

“Kalo menurut gua, Ify yang salah. Karena dia terlalu mikirin diri sendiri, engga menghargai orang yang sebenernya mau ngehibur dia. Tapi ya wajar aja, sih, namanya juga lagi drop”

“Terus kalo menurut elo, gua harus ngapain?” tanya Rio tak sabar, memainkan sedotannya.

“Yaa… elo bersikap kayak biasa aja. Eh, ngomong-ngomong, elo masih ngirimin Ify surat?” tanya Alvin balik. Rio mengangguk perlahan.

“Kalo gitu, elo harus tetep ngasih surat! Ntar Ify curiga! Masalah Ify yang marah, menurut gua sih, dia bakal nyadar kok, terus minta maaf duluan. Pokoknya elo harus tetep kasih surat ke dia, ya!” pesan Alvin dengan mimik muka serius.

Rio berpikir sebentar. Iya juga ya, nanti kalau dia tidak mengirim surat lagi, Ify bisa-bisa curiga! Wah! Bisa gawat!

“Oke deh. Bereees… Makasih ya, Vin! Gua pulang sekarang, deh” pamit Rio sambil meraih ranselnya. Alvin tersenyum, lalu mengantarkan Rio sampai ke gerbang.

“Eit, bentar, Vin! Terus tentang elo sama Sivia gimana?” tanya Rio tiba-tiba saat mereka berdua sudah ada di depan gerbang rumah Alvin.

Alvin terhenyak. Salting tiba-tiba. “Ngg… Err… Yaaa gitu deh” jawabnya sekenanya.

Rio tertawa melihat ekspresi sahabatnya itu, lalu menepuk pundak Alvin. “Kan gua udah ada sesi romantisnya sama Ify, elo juga harus usaha! Udah, ya. Pulang dulu gua!” pamit Rio sambil melambaikan tangannya. Alvin balas melambai. Saat Rio sudah benar-benar jauh dari rumahnya, baru Alvin melangkah masuk ke dalam rumah. Ia masih memikirkan kata-kata Rio tadi.

***

‘Kalo gua mau Sivia jadi pacar gua, artinya gua mesti pedekate. Tapi gimana caranya?’ pikir Alvin saat melangkah ke arah kamarnya yang ada di lantai atas.

“Alvin!” panggil seseorang dari lantai bawah. Sontak Alvin menghentikan langkahnya. Ah, ia hafal suara itu. Itu suara mamanya. Alvin bergegas turun ke lantai bawah, menemui mamanya itu.

“Apa ma?” tanya Alvin saat menemukan mamanya yang sedang berkutat dengan secarik kertas di dapur.

“Ini, mau bantuin mama ya? Mama mau bikin cokelat, tapi bahannya kurang. Tolong beliin di supermarket ya?” pinta Mama Alvin sambil melambaikan secarik kertas itu. Mungkin itu resep.

Alvin mengangguk. Lalu Mama Alvin segera memberinya uang dan daftar belanja.

“Ini, ntar liat disini aja ya apa aja yang harus dibeli, ini uangnya” ujar Mama Alvin lagi, menyodorkan dompet dan kertas yang penuh tulisan tangan Mama yang rapi. Alvin mengangguk lagi.

“Perginya sama Pak Jo aja, ya!” pesan mama Alvin lagi. Alvin mengangguk untuk ketiga kalinya, lalu segera pergi ke garasi untuk meminta Pak Jo agar mengantarnya.

Alvin sempat melihat penampilannya yang lumayan berantakan saat melihat bayangan dirinya di depan cermin besar yang ada di ruang keluarga. Tapi Alvin tidak mempedulikannya. Toh hanya ke supermarket, tidak akan bertemu presiden juga.

“Pak, ke supermarket ya!” ujar Alvin saat ia sudah menaiki mobil. Pak Jo mengangguk dan melajukan mobil. Pergi ke supermarket.

***

15 menit kemudian, mobil Alvin sudah sampai di depan supermarket. Pak Jo disuruhnya menunggu di parkiran. Sedangkan Alvin sendiri cepat-cepat turun dan membeli barang-barang yang tertulis di daftar belanja.

“Hmm… Cokelat bubuk. Dimana ya cokelat bubuk… cokelat bubuk…” gumam Alvin sambil menyusuri salah satu koridor supermarket untuk mencari cokelat bubuk.

DEGG!! Tubuh Alvin serasa membeku saat ia melihat Sivia yang juga sedang memilih-milih sesuatu di rak barang. Dalam hati, Alvin menyesal tidak membenahi penampilannya yang masih berantakan itu.

Alvin masih terdiam di tempatnya saat Sivia menyadari kehadirannya dan menyapanya.

“Hei, Vin! Belanja?” tanya Sivia ramah, Alvin mengangguk canggung. Pikirannya masih tertuju pada satu hal. Penampilannya.

“Tumben ya cowok belanja? Tapi gua suka cowok yang mau belanja! Tandanya dia menghormati perempuan” ujar Sivia lagi, senyumnya masih belum lepas dari wajahnya yang manis.

Alvin sudah bisa mengendalikan sikapnya, dan berjalan mendekati Sivia. Siapa tahu, mereka bisa mengobrol lama.

“Eh… iya nih. Disuruh mama. Kamu tau tempatnya cokelat bubuk nggak, Siv?” tanya Alvin, berusaha mencari bahan obrolan.

“Cokelat bubuk? Ini kan cokelat bubuk!” jawab Sivia sambil menunjuk sebuah kotak yang terletak tepat di samping kepala Alvin.

Alvin gelagapan menyadari barang yang dicarinya ternyata ada di sampingnya sendiri. Ia buru-buru meraih kotak itu lalu tersenyum malu ke arah Sivia.

“Eeh… err… hehehe” Alvin menunjukkan cengiran malunya yang berhasil membuat Sivia tertawa.

“Alvin… Alvin! hahaha… eh, barengan aja yuk belanjanya! Gua juga disuruh mama nih” ajak Sivia bersemangat, Alvin mengangguk cepat. Wah, benar-benar tidak rugi dia pergi ke supermarket ini!

***

Esoknya, giliran Alvin yang berjalan ke kelasnya dengan rasa penuh percaya diri. Rio yang berjalan disampingnya hanya bisa tersenyum lesu, menenteng sehelai kertas yang sudah dilipat menjadi beberapa bagian.

“Indah duniaaa…” gumam Alvin saat meletakkan tas di kursinya, tidak seperti biasanya.

“Elo, Vin! Belanja berdua aja udah bahagia beneeer” ledek Rio—yang memang sudah diceritakan oleh Alvin tentang kejadian di supermarket—sambil menyenggol siku Alvin yang sekarang tersenyum.

“Dih, elo, Yo! Bukannya ngasih selamat, atau didoain biar bisa jalan bareng lagi!” sahut Alvin, balas menyenggol Rio.

“Eh, itu tasnya Ify. Yang di tangan elo itu surat kan? Selipin di tasnya Ify sana! Mumpung Ify nggak ada!” suruh Alvin pelan seraya menunjuk sehelai kertas yang digenggam Rio. Rio mengangguk. Lalu perlahan-lahan ia menyelipkan surat itu di sela-sela buku tulis Ify. Lalu dengan sigap menutup risleting tas itu lagi.

“Keluar, yuk!” ajak Rio pelan. Alvin mengangguk sambil tersenyum. Mereka berdua lalu berjalan keluar kelas.

Tak disangka, di depan kelas mereka bertemu Ify yang sedang melamun. Tapi Ify segera bangun dari lamunannya saat menyadari ada Alvin dan Rio yang berjalan di sampingnya.

“Pagi…” sapa Ify pelan, tersenyum lesu.

“Pagi, Fy…” sapa Alvin balik, memamerkan senyum mautnya.

“Hmm…” sahut Rio sekenanya. Tanpa ada senyum sedikitpun di wajahnya. Ify sempat terhenyak melihat sikap Rio.

Tapi Ify sadar, kalau Rio pasti sedang marah. Jadi Ify membiarkan mereka berdua berjalan melewatinya. Selepas Alvin dan Rio pergi, Ify menghela nafas berat. Haruskah ia yang meminta maaf?

*****

-author: ditaa
-facebook: Anindita Putri

No comments:

Post a Comment