Part 9 : Sebaris Maaf Dengan Payung
Rio tak sengaja mematahkan bunga matahari kesukaan Ify. Ify tidak tanggung-tanggung, dia betul-betul marah. Rio berniat meminta maaf, berhasilkah?
****
Rio melangkah gontai ke arah kelasnya. Dengan mata berkantung yang sayu. Semalam ia sulit tidur, memikirkan cara yang tepat untuk meminta maaf pada Ify.
Lorong yang biasanya ia lewati dengan riang kini terasa sangat panjang. Ia masih berpikir. Sayup-sayup, ia mendengar langkah kaki. Langkah itu semakin cepat, dan mendekat. Perlahan-lahan, Rio menoleh ke belakang. Ify. Ify berjalan di belakangnya dengan tatapan lurus kedepan, langkahnya cepat, dan seolah tidak melihat ada Rio disana. Rio berusaha tersenyum, meskipun senyumnya tidak setulus biasanya. Ify meliriknya sesaat, sebelum kemudian melengos dan mempercepat langkahnya. Meninggalkan Rio.
‘Gua bego, bego! Ngapain juga gua motong bunga kesukaan Ify? Gua emang bego!’ seru Rio di dalam hati. Mempercepat langkahnya juga menuju kelas. Ia ingin berkonsultasi
dengan Alvin.
Rio melongok ke dalam kelas. Hanya ada Alvin. Tas Ify sudah tergeletak di kursi tapi pemiliknya tidak ada. Rio menghembuskan nafas lega, paling tidak dia bisa berkonsultasi ke Alvin tanpa ada yang mengganggu.
Rio meletakkan tasnya sebelum duduk di kursi. Ia memandangi Alvin yang sibuk menulis-nulis sesuatu di bukunya.
“Elo ngapain Vin?” tanya Rio heran,
“Ngga apa-apa. Ngehafalin rumus doang kok” jawab Alvin sambil tetap mencorat-coret halaman belakang bukunya.
Rio menatap Alvin maklum. Sahabatnya ini memang digolongkan anak cerdas. Rio sudah biasa melihat Alvin yang waktu makan pun masih sempat belajar.
“Oh iya, elo udah dapet cara buat bantuin gua minta maaf ke Ify?” tanya Rio lagi, berharap Alvin sudah menemukan cara yang cocok.
Alvin menutup bukunya, dan menatap Rio,“Nah, itu dia. Gua udah ketemu sih, tapi gua bisanya kasih saran, bukan cara. Ify itu orangnya pemaaf. Ify itu suka anak cowok yang mentingin keperluan orang lain. Jadi maksudnya dia suka cowok yang penolong, engga cuma mikirin diri sendiri”
Rio terdiam mendengar kata-kata Alvin. Cowok yang penolong. Rasanya Rio bisa memenuhi kriteria itu.
“Kalo urusan caranya, maaf banget Yo. Gua bukannya engga mau bantu. Tapi emang gua engga tau caranya!” lanjut Alvin lagi, dengan terburu-buru. Ia takut Rio marah.
“Ngga apa-apa! Elo udah banyak bantuin gua! Kali ini, gua minta doanya aja banyak-banyak ya! Hehe” sahut Rio yang sudah mulai ceria. Alvin tersenyum pada sahabatnya. Ia yakin Rio mampu menyelesaikan semuanya dengan cara yang mengejutkan tapi selalu berhasil.
***
Rio menolak Chitato pembrian Alvin. Alvin tak memaksa, ia mengerti kondisi hati Rio saat ini. Rio masih melamun, sedangkan Alvin hanya diam. Benar-benar tak seperti
biasanya.
“Eh iya beneran gu…” kata-kata Ify terputus saat ia menyadari ada Rio di dalam kelas. Awalnya memang Ify dan Sivia hendak masuk ke kelas, tapi setelah Ify melihat ada Rio, Ify berbalik sambil memegang lengan Sivia. Menariknya keluar kelas.
Rio hanya menghelas nafas. Ify memang benar-benar marah. Walaupun bukan marah terang-terangan, tapi cukup membuat perasaan Rio makin campur aduk. Hari ini nyaris dilewatkan Rio dengan murung. Hanya Alvin yang berkali-kali memberinya
semangat.
“Oh iya, Vin. Ntar elo pulang duluan aja deh ya. Gua mau di sekolah dulu aja” ujar Rio tiba-tiba. Masih dengan tatapan kosong. Meski heran, Alvin tak mau bertanya aneh-aneh, ia menepuk pundak Rio 2 kali yang artinya“Iya”.
***
Meski hujan deras diluar, kelas 8E tetap sunyi saat pelajaran Fisika. Mereka semua sibuk mengerjakan sekumpulan soal-soal, dan nanti, salah satu dari mereka akan dipanggil untuk mengerjakan di depan kelas.
“Mario, kerjakan soal nomor 3 di papan” perintah Pak Duta, mengulurkan spidol hitam kepada Rio.
“Ya, pak” jawab Rio patuh, ia mengambil spidol dari tangan Pak Duta dan segera mengerjakan soal nomor 3 di papan. Tanpa senyum sedikitpun, tanpa kesalahan yang ia perbuat saat menulis rumus.
“Ya, bagus” ucap Pak Duta saat Rio selesai menuliskan jawabannya. Meskipun dalam hati Pak Duta heran juga, tidak biasanya Rio sepatuh dan sependiam itu. Guru yang galak-tapi-perhatian itu berencana untuk berbicara dengan Rio nanti.
TEENG… TEEENG… TEEENG…
“Ya, bel sudah berbunyi. Silakan bereskan buku-buku kalian” kata Pak Duta lagi, anak-anak kelas 8E segera membereskan buku-buku mereka. Ketua kelas memimpin doa, dan berebutan menyalami Pak Duta, lalu, segera pulang!
Lain halnya dengan Rio, Rio sengaja berlama-lama keluar kelas. Seharian ini dilaluinya tanpa senyuman, dan lama-lama perasaannya makin tidak enak. Alvin sudah disuruhnya pulang sejak tadi.
“Mario” panggil Pak Duta yang masih membereskan barang-barangnya. Sontak Rio menoleh, dan berjalan mendekati Pak Duta.“Ya, pak?”
“Kamu sakit? Atau mungkin ada apa-apa? Saya perhatikan dari tadi kamu hanya diam. Tidak seperti biasanya” tanya Pak Duta heran, akhirnya dia bisa menanyakan hal itu pada Rio, setelah tadi sempat merasa bingung.
“Nggak apa-apa kok, pak. Cuma agak capek” jawab Rio sambil tersenyum. Tapi tetap saja senyumnya lesu.
Pak Duta tersenyum maklum, sambil menepuk pundak Rio.“Ya sudah, kamu istirahat yang cukup!”
Rio mengangguk, lalu berjalan keluar kelas. Kakinya terus melangkah sampai ia tak sadar sudah berada di gerbang sekolah.
‘Untung aja gua bawa payung sama jaket’ batin Rio seraya mengeluarkan payung dari dalam tasnya. Dan memakai jaketnya.
Sekilas Rio mengalihkan pandangannya ke sampingnya. Oh, ada Ify. Rio kembali membuka payungnya. EH! IFY? Ya, ada Ify yang sedang menyandarkan badannya di gerbang, dengan tatapan yang menerawang. Rio berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk sekadar mengobrol dengan Ify.
“Fy? Kok engga pulang?” tanya Rio hati-hati. Ify meliriknya sebentar, tapi kemudian memandang lurus ke depan lagi.
“Sopir gua sakit. Ga ada yang bisa jemput. Gua ga bawa payung, nunggu hujan berhenti aja” jawab Ify datar, bersikap seolah tidak peduli.
“Err… pake payung gua aja gimana?” tawar Rio, masih berhati-hati.
“Engga usah. Makasih” tolak Ify halus. Rio menyadari, Ify psti tidak mau sepayung dengannya. Maka ia buru-buru mengubah penawarannya.
“Maksudnya bukan sepayung sama gua. Gua sih pake jaket aja, elo yang pake payung. Ini udah jam 2 lho, hujannya deras juga, bakalan lama kalo harus nungguin” tawar Rio lagi, kali ini disertai senyumnya yang tulus. Senyuman tulusnya yang pertama di
hari ini.
Ify memandang Rio ragu, kemarin bunga mataharinya sudah dipatahkan. Apa ia harus menerima tawaran Rio?
“Engga usah kok Yo. Makasih” kata Ify lagi. Rio sudah tak sabar, ia benar-benar ingin minta maaf ke Ify. Rio merangkul Ify bukan di pundaknya, tapi di lehernya. Rio mengalungkan tangan kirinya di leher Ify. Rio menggamit leher Ify pelan, sambil menariknya pulang.
“Udah ayo pulang! Elo jadi cewek susah bener dikasihtau” ujar Rio cepat, Ify yang tadi mau protes terdiam. Ia merasa hangat berada di rangkulan Rio. Sudah 3 menit, tapi Rio masih menggamit leher Ify. Ify pun tak menolak. Sampai akhirnya Rio melepaskan rangkulannya, menyerahkan payungnya ke Ify, dan ia berjalan bukan dibawah payung, tapi tetap disamping Ify.
“Eh? Ntar elo kehujanan, Yo!” seru Ify sambil memayungi Rio. Tapi Rio mendorongnya pelan.
“Gua engga usah. Elo aja. Kan gua udah ada jaket, lagian payung gua kecil, elo aja deh. Gak apa-apa kok” ujar Rio pelan. Tapi berhasil membuat Ify speechless.
Cowok yang seperti ini yang dicarinya, cowok yang rela berkorban demi orang lain. Ify masih menatap Rio. Tetapi Rio tiba-tiba menoleh padanya dengan raut muka penuh penyesalan.
“Ma… Maafin gua Fy. Tentang bunga matahari itu…” Rio berhasil minta maaf. Terserah Ify ia akan memaafkannya atau tidak, ia sudah berusaha.
Ify tersenyum lembut, “Nggak apa-apa, Yo. Lagian kemaren gua kelewat emosi, marah terus-terusan kan juga engga baik”
Rio tersenyum mendengar kata-kata Ify barusan.“Makasih ya, Fy…” ucapnya pelan. Ify mengangguk, senyumnya masih belum lepas dari wajahnya yang manis.
“Iya. Oh iya, elo payungan juga dong, biarin gua kena hujan juga, tapi elo jangan hujan-hujanan sendiri” lanjut Ify sambil memayungi Rio. Rio tersenyum, senyum bahagia. Ify tersenyum juga.
Mereka berdua, di tengah hujan yang semakin deras, berdua, di bawah payung. Berjalan berdampingan. Membuat semua hal paling romantis pun menjadi basi ketika kita melihat satu hal yang biasa, tapi bisa membuat kita semua merasakan kehangatan yang tak terhingga.
*****
-author: ditaa
-facebook: Anindita Putri
No comments:
Post a Comment