Gabriel merebahkan tubuhnya diatas kasur kamarnya. Matanya menerawang,
ada perasaan aneh yang menyelinap masuk kedalam hatinya. Perasaan rindu,
rindu setengah mati. Ia rindu seseorang, ia rindu gadis itu..
Gadis
yang sudah berhasil mengacak-ngacak hatinya, lantas pergi begitu saja.
Gadis yang sudah terlanjur memberikannya harapan, harapan yang begitu
menjanjikan , harapan yang melambungkan, tapi ternyata malah
menjatuhkan.Gadis yang sudah dikenalnya sejak lama, bertahun – tahun,
tapi tetap tidak memberinya kesempatan. Gadis yang sudah memberikan
sejuta arti dikehidupanGabriel, tanpa bersedia mengartikannya. Gadis
itu… Sivia. Wajah gadis itu terbayang dibenak Gabriel, mengisi penuh
seluruh angannya. Tanpa menyisakkan untuk perempuan lain. Gadis itu
mengunci hati Gabriel, hanya untuk dirinya seorang, lantas membuang
kunci itu kedasar hatigadis itu. Hanya gadis itu yang bisa membuka hati
Gabriel kembali. Dan merupakansebuah pilihan mutlak bagi Gabriel, untuk
mengambil kunci itu didasar hati Sivia. Tapi bagaimana caranya?
Gabriel
memejamkan matanya, berusaha sekuat tenaga mengusir bayangan Sivia. Ia
ingin melupakan gadis itu, tapi tetap saja, hatinya menolak.. Dengan
gerak lambat tapi pasti ia merogoh saku celananya lantas mengeluarkan
ponselnya, ia mengetik sebuah pesan singkat, hanya pesan singkat, namun
menyimpan sejuta harapan,
To :Sivia
‘Aku gak akan nyerah, Via’
Gabriel
memejamkan matanya lagi, ia sendiri tidak yakin dengan apa yang ia
lakukan barusan. Ia menghela nafas pelan, berusaha memberikan sedikit
ketenangan pada hati kecilnya, dan memang itu yang ia butuhkan,
Gabriel
membuka matanya cepat saat ponselnya berbunyi nyaring, tanda ada satu
pesan masuk, tiba – tiba saja ia merasakan aliran darahnya terasa lebih
cepat, berlomba menuju jantungnya. Ia meraih ponsel itu,membuka satu
pesan yang masuk, apa mungkin balasan dari sivia? tapi..
Sender : Rio
‘Mana janji lo, men?”
Oh, tidak. Bukan ini yang ia harapkan. Gabriel kembali memejamkan matanya.
@@@
Sebuah
alunan nada indah nun mempesona mengalun indah diruangan itu, alunan
nada dari sebuah grand piano putih yang terletak ditengah ruangan.
Alunan nada yang dimainkan seorang cowok dengan begitu lembut. Kedua
matanya terpejam, ia menikmati alunan nada indah yang diciptakan jemarinya sendiri. ..
Ia
menghentikan permainan pianonya sejenak saat ponsel disaku celananya
berbunyi nyaring, ia lantas meraih benda itu, ada satu pesan masuk,
Sender : Gabriel
‘Gue tunggu lo ditempat biasa, sekarang.’
@@@
Sivia masih berdiri dibalkon kamarnya, walaupun udara dingin kian menembus piyama merahmuda-nya, menusuk tulangnya.
Sivia
menghela nafas pelan, matanya menerawang, menatap langit. Menyapa
sahabat – sahabat barunya, bintang – bintang kecil yang sedang asyik
menari. Bahkan ia sama sekali tidak peduli dengan kedua bulir bening
yang kinimengalir dari sudut matanya, membasahi kedua pipinya.
Sivia
sadar ini semua nyata, bukan hanya sekedar dongeng fairy tales,
Gabriel, teman masa kecilnya, masih menyimpan perasaan itu. Perasaan
yang sudah membuat Sivia merasa bersalah seumur hidupnya. Perasaan yang
sudah memberikannya pilihan mutlak untuk berkata iya atau tidak sama
sekali.
Sivia menghela nafas pelan, ia tidak mau mengganggu teman
– teman barunya yang sedang asyik menari, bintang – bintang itu,
sejujurnya sudah sedikit menghibur hatinya. Tapi bukan
ituyang Sivia
butuhkan, ia menginginkan seseorang. Bukan Gabriel. Seseorang yanglebih
menarik dimatanya, seseorang yang sudah menancapkan panah asmara
dijantungnya,tanpa bersedia melepaskannya. Ia menginginkan orang itu
untuk selalu berada disampingnya, menemaninya, tersenyum padanya,
seperti bintang – bintang yang kini tersenyum padanya.
@@@
Gabriel
mendesah pelan, sudah cukup lama ia berdiri ditempat yang sama, sebuah
tempat dimana Gabriel menunggu seseorang yang akan menagih janjinya tadi
siang. Tanpa disadaripikiran Gabriel melambung pada kejadian tadi
siang,
Flashback,
Rio kembali membuka mulut, “Sekali lagi
gue tanya, ini untuk yang terakhir kalinya, kalo lo berdua gak jawab
jujur, lo bakal berurusan sama gue.” Jelas Rio. “ Jadi, ember ini punya
siapa?” sambungnya.
“Punya Gue!!” Jawab Sivia dan Ify, kali ini
kembali berbarengan. Rio kembali mendengus kesal, semetara itu
dibelakangnya, Gabriel gelisah. Ia tau hatinya berontak saat putri masa
kecilnya dibentak – bentak dihadapannya. Ia dapat melihat guratan
kepanikan diwajah putri masa kecilnya itu, ia dapat merasakan
kegelisahan hati siputri masa kecil, putri masa kecil itu… Sivia.
Gabriel merasakan dadanya sesak, ia sulit bernafas, tapi ia tetap harus
melindungi putri masa kecilnya itu, ia harus melindungi Sivia,
Sampai
akhirnya ia memberanikan diri membuka mulut, “Udahlah yo, maafin aja.
Namanya juga cewek.” Gabriel tetap berusaha menunjukkan gaya cool-nya,
walaupun seluruh tubuhnya sudah mengeluarkan keringat dingin.Ia pun
dapat menyadari kebingungan Rio, dengan langkah pasti ia menghampiri
Rio, dan mendekatkan mulutnya ke telinga Rio untuk mengatakan sesuatu,
“lo boleh minta satu hal dari gue. ” Ujar Gabriel mantap.
Lamunan
Gabriel terhenti saat sebuah mobil balap keluaran terbaru berhenti
didepannya, tampak seorang cowok dengan jaket hitam pekat turun dari
mobil, Gabriel jelas mengenal sosok itu, Rio.
@@@
Rio
turun dari mobil balap seri terbarunya, lantas menghampiri Gabriel yang
duduk diatas tumpukan bangku sudah tidak layak pakai. Ya, ‘tempat biasa’
yang dimaksud Gabriel adalah gudang SMA Harapan Para Bintang yang
terletak dilantai paling atas gedung itu. The Four Mr.Perfect sudah
menyulap gudang itu menjadi sebuah tempat yang nyaman untuk mereka
sekedar melepas penat atau bercanda gurau. Tapi malam ini, gudang ini
akan menjadi saksi bagaimana Gabriel menepati janjinya.
Rio
mendelik, malam ini terlihat sangat tampat dengan jaket kulit warna
hitam yang membalut tubuh atletisnya,“To the point aja, permintaan gue,
lo harus ngelupain cewek itu, men!”
Gabriel mengangkat kepalanya
yang sejak tadi hanya tertunduk, ia jelas mengerti siapa yang dimkasud
Rio dengan‘cewek itu’, si putri masa kecilnya, Sivia.
“Gue gak bisa Yo, gue udah coba. Tapi gue tetep gak bisa ngelupain Sivia.” Jelas Gabriel lantang.
Rio melangkah mendekati Gabriel, kini wajahnya hanya berjarak dua jengkal dari wajah Gabriel,
“cewek
itu bisa ngebunuh lo, men! kalo lo terus kayak gini, Dia bisa ngebunuh
lo pelan –pelan.” Gabriel mendengus, “Ini bukan urusan lo, yo. Ini
urusan gue.”
Rio membuang muka, lantas kembali menatap Gabriel,“Gue temen lo, iel. Gue gak mau lo dimanfaatin sama tuh cewek.”
“Gak ada yang manfaatin siapa–siapa, yo..” Ucap Gabriel Lirih.
Rio naik darah,“Tapi buktinya, lo selalu ngebela dia, lo selalu ngasih segalanya buat dia, apa– apa dia..”
“Emang kenapa kalo gue selalu ngebela dia? Itu urusan gue, men! Lo gak usah repot – repot ngurusin gue!”
Rio
menatap Gabriel tajam “oh, come on guys! Lo nyadar gak sih, dia itu
bukan yang terbaik buat lo! Dia itu udah nolak lu mentah – mentah, lo
denger sendiri kan, waktu dia nolak lo dia bilang dia suka sama cowok
lain? Udahlah, el, lupain cewek brengsek itu!!”
Telinga Gabriel
panas, hatinya berontak saat putrimasa kecilnya itu dihina. Gabriel naik
darah, ia lantas meninju wajah Rio dengan penuh amarah. Rio tersungkur
dilantai, ia berusaha mencerna kejadian barusan, Gabriel meninjunya. Rio
yang tidak terima, kembali berdiri lantas mendaratkan satu pukulan maut
diwajah Gabriel.
Kaliini Gabriel yang tersungkur, ia menahan
rasa sakit diwajahnya. Tapi tetap saja,rasa sakit itu tidak sebanding
dengan rasa sakit hatinya saat Putri masa kecilnya dihina, ia lantas
kembali berdiri, dan mendaratkan satu pukulan lagi diwajah tampan Rio,
Rio yang lengah kembali tersungkur diatas lantai begitu tinju kedua
Gabriel mengenai pipinya, darah segar mengalir dari bibirnya, tapi kali
ini ia tak langsung berdiri, ia masih menahan sakit dikedua pipinya,
“denger ya, yo jangan pernah sekalipun lo hina Sivia!” Bentak Gabriel.
Rio tak menjawab, ia hanya melirik Gabriel sebentar.
“Dan
justru itu, gue mau tau siapa cowok yang udah ngebuat Sivia nolak gue!
Gue harus tau siapa cowok itu!” Lanjut Gabriel dengan mengacungkan
telunjuknya kearah Rio yang masih tersungkur dilantai.
“Satu hal
lagi, kalo lo emang sahabat gue, lo gak akan nyuruh gue untuk ngelupain
Sivia. Ngertilo?” Jelas Gabriel, lantas pergi meninggalkan gudang,
meninggalkan Rio yang kini terbaring diatas lantai gudang yang dingin.
Sendiri.
@@@
Ify terkesiap saat alarmnya berbunyi, ia
lantas meraih benda itu masih dengan mata yang tertutup rapat. Ify yang
masih dikuasai rasa kantuk, berusaha membuka matanya sedikit, dan ia pun
terlonjak kaget begitu mengetahui jam berapa sekarang,
“Wahaaaaaaa, setengah tujuuuuuh!” Ujarnya panik lantas beranjak dari tempat tidurnya.
@@@
Ify
bergegas keluar rumah, ia berniat untuk berlari sekencang – kencangnya
begitu keluar dari rumah. Tapi belum sempat ia berlari, matanya
menangkap satu kejanggalan didepan rumahnya. Ada sebuah mobil mewah yang
kini bertengger didepan rumahnya, Ify menaikkan alis,‘Mobil siapa? Masa
iya mobil pak Lurah diparkir disini?’
batinnya.
Tapi tiba –
tiba muncul seorang laki – laki paruh baya, ia tersenyum pada Ify yang
masih kebingungan. “ayo non Ify, kita udah telat.” Uajr laki – laki itu.
Ify
menepuk keningnya saat menyadari bahwa laki – laki itu adalah pak
ujang, supir mama Ira. Dan itu berarti, mobil mewah itu adalah mobil
mama Ira. Dan ia pun tersenyum senang, syukurlah,ia tidak perlu naik
angkot kesekolahnya disaat – saat seperti ini, bayangkan, Ify sudah
terlambat setengah jam.
Dengan cepat dan langkah pasti Ify segera menaiki mobil itu.
@@@
Mobil
yang mengantar Ify akhirnya sampai juga didepan sekolahnya, SMA Harapan
Para Bintang. Ify melirik jam tangannya, ia sudah telat 45 menit. Angka
yang fantastis bukan?
Tapi untunglah sekarang ia sudah berada
didepan sekolahnya, Ify bergegas turun dari mobil, “saya turun disini
aja deh pak, bapak gak usah nganter sampai dalem. Makasih ya, pak.” Ujar
Ify seraya turun dari mobil. Ify lantas segera berlari mendekati pagar
yang kini terkunci rapat, sekolah sudah sepi, jam pertama sudah dimulai.
Ify melengos. Saking paniknya ia loncat – loncat berusaha menemukan
sosok Satpam yang bisa membukakan pagar.
“heh, ngapain lo loncat – loncat kayak gitu didepan pager!” Seru seseorang dari belakang Ify.
Ify
yang kaget, lantas menoleh, dan ia pun terkejut setengah mati begitu
melihat siapa yang berdiri dibelakangnya, Rio! Innalilahi, kenapa ia
harus berurusan dengan orang ini
lagi? Aduh, gusti..
“Gue nyariin satpam.” Jawab Ify sekenanya.
Rio
yang mendengar jawaban Ify hanya geleng – geleng kepala “Dasar sarap
lo, lo yang kemaren numpahin air itu kan?” Ify mengangguk, lantas
mendengus kesal. Dan baru pada saat itulah ia menyadari lebam di kedua
pipi rio, warnanya kehijau – hijauan . Ify sempat kaget, lantas kemudian
membuang muka.Ia tidak sedikitpun berminat untuk menanyakan luka itu
atau sekedar komentar.‘Ah, Masa Bodo!’ Batin Ify.
“Sarap kok dipelihara..” Ucap Rio lirih. Lantas malangkah mendekati pagar. Sekarang posisi berdirinya tepat disebelah Ify.
Rio
celingak – celinguk kedalam pagar,“Dasar bego, satpamnya ada didalam
pos satpam!” Ucap Rio seraya melirik Ify dengan tatapan tajamnya,
kemudian memanggil satpam itu.
“Pak, bukain dong pagarnya.” Ujar Rio Pada sang satpam.
“Iya dong pak satpam , bukain…”Ucap Ify Ikut – ikutan.
Rio mendelik, “Namanya Pak Rahmat, bukan pak satpam!” Jelas Rio, kemudian kembali memusatkan perhatiannya pada si satpam.
Ify
yang sadar bahwa kata kata Rio barusan untuk dia hanya mengangguk
pasrah. Pak rahmat, si satpam, memperhatikan dua anak yang berdiri
dibalik pagar, lantas membuka mulut, “Wah, gak bisa, ini sudah ketentuan
sekolah.”
Ify mendengus kesal, Rio Juga. Dua – duanya mendengus kesal,
“Bapak gak tau siapa saya?” Tanya Rio tiba – tiba. Ify mendelik, ‘apa maksudnya?’ batin Ify.
“Bukan gitu nak Rio. Saya mau aja bukain, tapi.. nanti saya dipanggil kepala sekolah.” Jawab Pak Rahmat Dengan tampang memelas.
“Udahlah pak, nanti kalo ada apa – apa biar saya yang tanganin.” Sahut Rio mantap.
Ify
mengangkat alis tak mengerti. Tapi ia tetap tidak berniat komentar. Pak
Rahmat terlihat berfikir sebentar, lantas tesenyum seraya menganggukan
kepalanya, “Ya udah deh.” Uajrnya seraya membuka gembok pagar. Ify
tersenyum puas, akhirnya ia bisa masuk kelas, walaupun ia sendiri
bingung, ‘kenapa bisa semudah itu Rio dibukakan pagar? Ah, sudahlah.’
Batin Ify.
Rio segera memasuki pagar saat pak Rahmat membukanya,
Ify pun serupa, dengan semangat 45 ia hendak masuk kedalam pagar, tapi
belum sampai ia dibalik pagar, baru kakinya doang
yang masuk, Rio berbalik kearah pagar,
“Eeeh, mau kemana lo?” Tanya Rio garang, tangannya memegang pagar,
“Mau masuk, kan?” Jawab Ify.
“Enak aja, lo gak boleh masuk!” Ify menaikkan alis, bingung, “ Hah? Kenapa emangnya?”
“Heh, yang minta izin tuh gue doang. Dari tadi kan lo gak ngomong apa – apa, berarti lo belom diizinin masuk!” Jelas Rio.
Ify mencibir, “Ya udah sih, sekalian masuk..”
Rio melengos, “Yeee, gak bisa! Pager. ni dibukain khusus buat gue. Bukan buat lo! Gue ya gue! Elo ya elo!”
Ify
mendesah kesal, tapi tidak berkata apa – apa. Dengan gerak cepat, Rio
mengambil gembok ditangan Pak Rahmat, lantas mengunci kembali pagar itu.
Pak rahmat hanya geleng – geleng kepala melihat kelakuan dua anak
didepannya.
Ify yang kaget, lantas memukul – mukul pagar, “Heh!
Apaan sih lo? Kok pagernya malah dikunci lagi! Rio, Bukain! Nyebelin
banget sih, lo..”
Rio yang berdiri dibalik pagar hanya tersenyum
sinis lantas melangkah dengan santainya sambil membawa kunci gembok
pagar, meninggalkan Ify yang masih berdiri diluar pagar.
“Rio!! Bukain dong.. Rio…!!” Panggil ify seraya terus mencoba membuka pagar tinggi menjulang Itu.
Rio semakin jauh meninggalkan Ify yang masih terus memanggil namanya, ia sama sekali tidak peduli dengan gadis itu.
‘Makanya, jangan macem – macem sama gue.’ Batin Rio.
@@@
“Yah,
ibu. Maafin saya deh, saya janji gak bakal telat lagi..” Ify setengah
meringis memohon pada Bu Uccie, guru bahasa Indonesia yang terkenal
sadisnya.
“Gak bisa, kamu tau kamu sudah terlambat berapa menit?
Lima puluh tujuh menit.. dan sebagai hukumannya, kamu gak boleh ikut
pelajaran ibu.” Jelas Bu Uccie.
Ify mendesah pelan, ini semua gara – gara Rio! Untung saja tadi pak Rahmat bersedia mengambil kunci serep untuk membuka pagar.
“Yah,
ibu, terus saya kemana dong?” Bu Uccie mendelik, “Ya terserah kamu,
kamu bisa ke perpustakaan, kekantin, pokoknya kamu gak boleh mengikuti
pelajaran ibu. Itu sudah peraturan sekolah, ify. Kamu ini, baru hari
kedua sekolah, sudah terlambat satu jam!” Ify mengangkat palanya,
“Kurang tiga menit, bu. Gak pas satu jam. Hehe.”Ralat Ify.
Bu
Uccie melotot. Ify tidak berani melanjutkan percakapan dengan bu uccie,
ia memilih untuk menuruti saja perintah bu uccie. Ify pun keluar kelas.
Ify mengumpat dalam hati, kalau saja tadi dia tidak bertemu dengan si senga Rio.
‘Dasar, udah sok kecakepan, sok pinter, sok baik, sok cool!’ Batin Ify.
Ify mendesah pelan, ia bingung akan kemana sekarang. Ify sendirian, benar – benar sendiri, tidak ada sivia seperti
kemarin.
Akhirnya Ify memutuskan untuk mengikuti saja langkah kakinya, menyusuri
lorong sekolah yang panjang, naik kelantai dua, sampai akhirnya,
langkah kakinya berhenti disebuah ruangan yang bertuliskan ‘Ruang
Musik’.
“Wah, keren. Ada ruang music segala!” gumam Ify.
Perlahan
Ify membuka pintu ruang music itu, tidak dikunci. Ify pun memutuskan
untuk masuk. Suasana nyaman langsung terasa begitu Ify menginjakkan kaki
di ruang ini, Ify melihat sekeliling,sampai kedua matanya menangkap
sosok manusia, seorang cowok yang sedang duduk didepan grand piano,
jemarinya mendentingkan nada. Sebuah nada yang terdengar asing ditelinga
Ify. Ify dapat dengan jelas melihat wajah si cowok yang duduk didepan
grand piano itu, ia mengenali sosok itu. Salah satu dari The Four
Mr.Perfect, kalau tidak salah namanya…Alvin. Ya, benar, Alvin jonathan.
@@@
Alvin
memejamkan matanya, tapi tetap membiarkan jemarinya menari diatas tuts
tuts piano. Sudah hampir satu jam ia duduk didepan grand piano,
memainkan nada – nada ciptaannya
sendiri.
Alvin membuka
matanya sebentar begitu mendengar pintu dibuka. Ya, dia memang sedang
berada diruang music, ia sama sekali tidak berminat mengikuti pelajaran
dikelas. Dan seperti biasa,ia memutuskan untuk pergi keruang music,
tempat favoritnya. Tanpa menoleh sedikit pun, hanya melirik sekilas,
Alvin kembali memejamkan kedua matanya,sampai sebuah suara lembut itu
terdengar,
“Permisi…”
Alvin menghentikan permainan
pianonya, lantas menoleh, matanya menangkap sosok kurus itu, seorang
cewek. Alvin mengenali gadis itu, gadis yang sudah membuatnya tersungkur
dilantai bersama ketiga sahabatnya. Sebuah kejadian yang benar – benar
memalukan.
Alvin
tak bergeming, ia tidak menjawab sapaan Ify. Ia hanya menoleh sebentar,
lantas menggeser posisi duduknya untuk memberi tempat pada gadis itu.
Sejujurnya, Alvin lupa nama gadis itu. Atau sebenarnya dia memang tidak
pernah tahu.
Ify menatap Alvin heran, “Apa?” Tanpa menoleh sedikit pun, Alvin membuka mulut, “Duduk aja.”
Ify
terkejut begitu mendengar jawaban Alvin, ia sama sekali tidak menyangka
Alvin akan menyuruhnya duduk disamping cowok itu. Semula Ify ragu, tapi
kemudian ia menurut dan duduk
disamping Alvin.
“Nama gue Ify..” Ucap Ify.
Alvin tak bergeming, lagi – lagi ia tidak menoleh, tapi mengucapkan sesuatu, “gue tau, si ember merah kan?”
No comments:
Post a Comment