Sunday, April 22, 2012

I'm Yours part 8 -Berlutut ??- (re-post)

“Rio, el..” Ucap Sivia.

“Rio?” Tanya Gabriel tidak mengerti.

“Rio jawaban dari semua pertanyaan kamu selama ini..” Gabriel tertegun, Rio? Apa mungkin…

“Maksud kamu?”

“Cuma Rio…” Ucap Sivia, lantas meletakkan satu tangannya didepan dada (hati), “Yang ada disini…” sambung Sivia.

Gabriel tercekat, mendadak degup jantungnya berpacu lebih cepat, dadanya sesak.. Kata – kata Sivia barusan bagai paku yang menancap di ulu hatinya. Apa? Jadi Rio-lah orangnya? Rio -lah jawaban dari semuanya… Rio yang membuat Sivia menutup hati untuk Gabriel , Rio yang menjadi alasan Sivia menolak Gabriel, Rio adalah cowok yang dimaksud Sivia telah merebut hatinya… Ya tuhan.. kenapa harus Rio? Rio yang sudah menjadi sahabat Gabriel sejak kecil.. Gabriel menelan ludah, menghela nafas panjang, “Via…” Ucap Gabriel pelan, tidak sanggup mencari kata lain..

Sivia mendesah pelan, cewek itu masih asyik meletakkan kepalanya diatas pundak Gabriel, “Iel..” panggil Sivia lirih.

“ya?”

“Maaf..”

Gabriel tertegun mendengar kata maaf yang keluar dari mulut Sivia, tapi tidak berniat menjawab apa – apa. Sampai sivia kembali membuka mulut,

“Kamu udah terlalu baik sama aku..”Jelas Sivia.

“Via.. aku..”

“Aku bukan yang terbaik buat kamu..” ucap Sivia menyalip kalimat Gabriel.

Gabriel mendesah pelan, “Kamu gak perlu merasa bersalah, via.. Aku yang salah.. Aku yang salah karena udah membiarkan rasa ini terus
tumbuh..”

@@@

“Kamu gak perlu merasa bersalah, via.. Aku yang salah.. Aku yang salah karena udah membiarkan rasa ini terus tumbuh..” Jelas Gabriel.

Sivai tertegun mendengar jawaban Gabriel, ia tidak pernah menyangka Gabriel akan berkata seperti itu… Perlahan sudut – sudut mata Sivia mulai mengeluarkan air mata.. ia menangis.Entah karena mendengar pengakuan Gabriel atas perasaannnya, atau karena ia sudah berhasil mengatakan isi hatinya.. entahlah!

Sivia membiarkan air matanya terus mengalir membasahi pipinya, ia tidak peduli. Tiba – tiba saja perhatiannya tertuju pada langit malam yang terbentang didepan matanya, langit malam yang dipenuhi dengan bintang – bintang… bintang – bintang yang menari… Sivia tersenyum kagum melihat bintang – bintang itu, melihat bintang – bintang yang seolah tersenyum bahkan melambaikan tangan padanya..

“Iel.. Coba kamu lihat bintang itu!” Ucap Sivia seraya mengangkat telunjuknya kearah langit.

Gabriel mengangkat kepalanya, melihat bintang – bintang yang dimaksud sivia, malam itu langit memang dipenuhi dengan bintang –bintang yang memanjakan mata.

“Iel, aku punya bintang… namanya Mario stevano aditya haling…” Ucap sivia dengan air mata yang terus mengalir, kata – katanya terdengar menyimpan duka, ya, Sivia baru saja mengatakan isi hatinya.

Gabriel tertegun mendengar ucapan Sivia, hatinya berontak, tapi ia berusaha menutupinya, “iya, aku juga punya bintang… namanya Sivia asyifa….” (namanya ngarang, ya!)

Sivia tersenyum kecil, lantas memejamkan matanya, mencoba memberikan sedikit ketenangan pada hati kecilnya…..tapi, bukannya malah tenang, sivia malah lebih menangis, seluruh isi hatinya seperti meluap..

“Kenapa kita gak bisa meraih bintang kita, iel?” ucap Sivia lirih, air matanya terus mengalir…

“Ini cuma masalah waktu, via..” jawab Gabriel mantap.

@@@

“Ify!!” Panggil seseorang.

Ify yang masih dikuasai rasa kantuk terpaksa menutup mulutnya yang terus menguap, lantas menoleh, Sivia setengah berlari mengampiri Ify, senyumnya bermekaran, “Fy, udah liat mading belom?” Ify menggelengkan kepalanya, lantas kembali sibuk menutup mulutnya yang terus nguap,

Sivia melengos, “Elo tuh ya, fy! Bisanya nguaaaapp, mulu!”

Ify nyengir kuda, “Kan ngantuk, via.. tadi malem kan ada piala dunia!”

“Emang lo nonton juga?” Ify menggeleng, “Kagak! Siapa bilang!” Alis sivia terangkat, “lah? Terus?” “Gue pegangin antenna tipi doang!” Sivia mengangkat alis, terdiam sebentar, lantas ngakak puas, Ify mencibir, “Yee, malah ketawa! Tuh antenna kagak mau berfungsi kalo gak dipegangin!”

Sivia masih terkekeh, “Ooh, jadi lo yang bertugas pegangin tuh antenna tipi?”

Ify mengangguk mantap, “Iya, tega banget bapak gue! tangan gue sampe berasa pengen goyang patah – patah! Untung gak jadi…”

Sivia kembali terkekeh, tangannya sampai memegang perutnya yang sakit karena terus – terusan tertawa, “Ify..Ify.. Gila deh, lo! Mana ada tangan bisa goyang patah – patah!Yang ada tuh pinggul, bukan tangan!”

Ify menyeringai, lantas menutup mulutnya yang lagi – lagi menguap. Serius, gara – gara harus pegangin antenna tv dirumahnya, Ify sampe harus tidur tengah malam…

“Eh, tadi kan lo ngomongin mading, emang ada apaan di mading?” Tanya Ify.

“Itu lho, ada pengumuman lomba nyanyi!” jelas Sivia.

Ify menaikkan alis sebentar, mencoba mengerti kata – kata Sivia, “Ooh, lomba nyanyi…”

Sivia melengos, “Yaaah! Kok Cuma ‘ooh’?”

“Ya, terus mau gimana?”

“Lo kok gitu sih, Fy? Gak asik!” Ujar Sivia lantas melipat tangannya didada, raut wajahnya menandakkan bahwa Sivia ngambek.

Ify tersenyum nakal, lantas menjawil pipi Sivia, “Sivia ngambek, euy!”

“IFY!!” Bentak sivia.

Ify terkekeh, “Iya, iya, terus lo maunya gue gimana? Jingkrak – jingkrak kayak anak kodok yang baru dapet undian berhadiah gitu?”

“IFY!! Mana ada undian berhadiah buat anak kodok!”

Ify kembali terkekeh, “Iya, iya.. maaf! Ya udah, liat langsung aja, yuk! Gue juga mau liat..”

@@@

Ify dan Sivia akhirnya berhasil keluar dari kerumunan murid – murid yang juga hendak melihat papan mading,

“gille! Kayak antre BLT gue barusan!”Seru Sivia begitu mereka berhasil menepi kepinggir koridor. Ify melengos, “Tauk! Didalem gue udah kayak ikan pepes..” sahut ify.

Sivia tertawa kecil, “eh, Fy! Ikut yuk lomba nyanyi..”

Ify melengos, “Yaah, Ngajak gue! Lo lupa tadi salah satu syaratnya harus bisa maen alat musik.. naah gue? Maen suling aja masih belepetan!”

Sivia menepuk keningnya, ya, syarat mengikuti lomba nyanyi tahunan itu memang selain bisa nyanyi, juga harus bisa memainkan alat musik, “Oh, iya! Gue lupa, fy..”

Ify menghela nafas pelan, “ Tapi hadiahnya boleh juga tuh, via.. gille! Lima juta, euy!”

Sivia mencibir, “Ah, elu mah pikirannya duiiitt mulu!”

“Yee.. beneran! Kalo gue bisa menang, gue bisa beliin gerobak baru buat nyokap – bokap gue.. kasian, udah hampir sepuluh taon tuh gerobak gak ganti - ganti!” jelas Ify.

Sivia terdiam sebentar, ada perasaan iba yang tiba – tiba saja mengisi hatinya, “Iya ya, Fy.. kan lumayan kalo bisa beli gerobak. Yaah, emangnya lo serius Fy gak bisa maen alat musik apa – apa? Satuuu aja!”

Ify menggelengkan kepalanya, “iiih, dibilangin! Gue gak bisa maen apa – apa!”

Sivia melengos, “Yaah, gimana dong, fy?”

“Ya, mau gimana lagi! Gue sih sebenarnya pengen banget ikut tuh lomba, tapi… ya, gimana!”

Sivia menepuk – nepuk pundak Ify pelan, “Sabar ya, Fy..”

Ify tersenyum kecil, “Eh, tapi lo bisa maen piano kan, via? Ikut aja..”

“Bisa sih, tapi males kalo lo gak ikut juga..”

Ify mencibir, “Yee, kok malah tergantung gue sih? Udah, kalo lo mau ikut, ya ikut aja.. gue dukung, kok!”

Sivia terdiam sebentar, lantas menarik sudut – sudut bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman, “ Ntar gue pikir – pikir lagi, deh..”

@@@

The Four Mr.Perfect berjalan dengan santainya menyusuri koridor, langkah mereka terhenti didepan mading sekolah yang sudah dipadati para siswa. Tanpa berfikir panjang, keempatnya ikut menerobos keruman itu, Rio memperhatikan sebuah artikel yang terpampang di papan mading, matanya menyusuri kata demi kata dalam artikel singkat itu.

“Wah, boleh juga nih!” Seru Ray, telunjuknya menyusuri artikel singkat itu.

“Emang lo bisa maen alat musik?” Tanya Gabriel dengan nada menyindir. Ray menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian menyeringai, “Bisa..”

“Apaan?”

“Pianika…” Sahut Ray mantap.

Rio yang sejak tadi diam langsung menoyor kepala Ray, “Eh, dodol, lo gak malu apa yang laen pada keren – keren maen piano, maen gitar, nah elu? Maen pianika?”
Ray mencibir, “yee, biarin. Gue akan tetep berusaha! Kan lumayan, kalo gue menang, hadiahnya buat beliin yayang Carol tas baru..”

Rio mencela, Gabriel melengos, sementara Alvin masih bertahan dengan sikap cool-nya,

“Yo, lo ikut kan?” Tanya Ray.

Rio menoleh, terdiam sebentar, lantas membuka mulut, “kayaknya gak, deh..”

“Emang napa? Tanya Ray lagi.

Rio mengalihkan pandangan, kembali memperhatikan artikel didepannya, “Males, gue! Apalagi temanya norak kayak gini… First Love? Huh!”

Ray menghela nafas pelan, kemudian menoleh kearah Alvin, “Kalo lo, vin? Permainan piano lo kan udah kelas kakap tuh..” Alvin tersenyum kecil, menambah kadar tampan diwajahnya yang memang sudah mempesona, “Dunno.”

Ray melengos, “yaah, kok gak tau sih? Ikut dong! Temenin gue.. masa gue doang yang bertempur dimedan perang?”

Dengan gerak cepat Gabriel langsung menoyor kepala Ray, tersenyum kecil, tapi tidak berkata apa – apa, lantas bergegas meninggalkan kerumunan,

“Weh, mau kemana iel?” Tanya Ray yang melihat tanda – tanda kepergian Gabriel.

“CAri angin…”Jawab Gabriel sekenanya lantas benar – benar pergi meninggalkan kerumunan.

“Baah! Kenapa pula tuh anak? Aneh dia hari ini..” Seru ray.

Rio bergidik, menatap Ray dengan tatapan penuh tanda Tanya, “Aneh gimana?”

“Ya, dia jadi lebih diem hari ini, mukanya juga pucat, kayak ada yang dipikirin..” Jawab ray.

“Iya, tadi juga gue ajakin ngomong, juga gak nyambung…”Tambah Alvin.

Rio menghela nafas pelan, lantas kembali menatap lurus kedepan, “Pasti cewek itu lagi!”

@@@

Gabriel mendesah pelan, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sangat – sangat mengganggu. Sivia. Ya tuhan.. kenapa bayagan sivia sama sekali tidak bisa dihapuskan? Kenapa semuanya yangberhubungan dengan sivia selalu menarik dimata Gabriel? Dan kenapa… Harus Rio yang ada dihati Sivia? Kenapa? Gabriel terkesiap saat ponsel disaku celananya berbunyi nyaring, ia lantas meraih benda itu, ada satu pesan masuk,

Sender :Sivia

‘mm.. Iel, aku mau Tanya, Rio ikut lomba nyanyi gak?’

Gabriel buang muka, muak, kenapa harus Rio? Ya tuhan, apa ini akhir dari penantian Gabriel selama ini? Inikah ending yang Gabriel harapkan? Tentu tidak. Gabriel menghela nafas panjang, mencoba menahan emosinya,Gabriel lantas membalas pesan singkat dari Sivia,

Sender: Gabriel

‘kayaknya gak deh, via. Emang kenapa?”

Tidak perlu waktu lama, ponsel ditangan Gabriel sudah berbunyi lagi, balasan dari Sivia,

Sender: Sivia

‘Yaah, padahal aku pengen banget ngeliat Rio nyanyi sambil maen alat musik. Kayaknya udah lamaa banget Rio gak maen alat music… terakhir, kayaknya waktu SD deh, iel? Ya kan?’

Gabriel menghela nafas panjang, ia sudah tidak berniat membalas sms Sivia. Tidak akan berarti apa – apa, hanya makan ati.

“Lo kenapa hari ini?” Seru seseorang seraya menepuk pundak Gabriel.

Gabriel terkejut, lantas menoleh, mendapati sosok rio yang sudah berdiri dibelakangnya, mereka berdua sedang berada dikamar mandi cowok, dan berarti ini memang urusan cowok.

“kenapa gimana?” Tanya Gabriel tidak mengerti.

Rio buang muka, “Kata anak – anak, lo mendadak diem hari ini..”

“Siapa yang bilang?”

“Ray..”

Gabriel melengos, “Ray dipercaya!”

“Tapi kali ini Ray bener, iel! lo emang beda hari ini! Kenapa lo?”

Gabriel tertegun, mencoba mencari alasan yang tepat, “beda gimana? Gue gak apa – apa kok..”

Rio melengos, menatap Gabriel, “Mata lo gak bisa bohong, iel.. kenapa? Cewek itu lagi?”

Gabriel kembali tertegun, apa? Jadi Rio tau ini semua karena Sivia? Kok bisa?

“Dia punya nama, yo..”

Rio mendesah kesal, memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana, “Oke, Sivia lagi?”

“Iya..”Sahut Gabriel ragu.

Rio melengos “kenapa lagi sih, iel? Dia minta apa lagi sama lo?”

Gabriel menoleh, sejenak menatap Rio, lantas kembali mengalihkan pandangan, “ Gak, dia gak minta apa –apa. Ini murni urusan gue sama Sivia..”

Rio memiringkan kepalanya, berusaha mencari kepastian diwajah Gabriel, “are you sure?”

Gabriel mengangguk mantap. Tanpa membuka mulut lagi, rio balik badan, lantas bergegas pergi meninggalkan kamar mandi, tapi,

“Yo..” panggil Gabriel.

Rio kembali membalikkan badannya, menghadap Gabriel, “Kenapa lagi?”

“mm.. Gimana? Lo ikut lomba nyanyi itu gak?” Tanya Gabriel lagi.

Rio menggeleng, “Gak tertarik..”

Gabriel tertegun mendengar jawaban Rio. Apa? Jadi Rio sama sekali tidak tertarik mengikuti lomba itu? Ya tuhan. Padahal… padahal Sivia sangat menginginkan Rio mengikuti lomba
itu? Lantas bagaimana?

“Ikut lomba itu, yo…” Ucap Gabriel lirih, “demi gue..” sambungnya.

Rio tertegun, alisnya terangkat, apa? Demi Gabriel?

“Lo bercanda? It just a joke, right?” Tanya Rio tidak percaya.

Gabriel menghela nafas panjang, “Plis, gue mohon.. lo ikut lomba itu!”

“kenapa gue harus ikut lomba gak penting kayak gitu?” Tanya Rio.

“Gue gak bisa kasih tau alasannya sekarang, yo.. yang jelas, gue mohon lo ikut lomba itu! Demi gue, demi persahabatan kita…”

Rio tertegun, apa? Sebelumnya, ia tidak pernah melihat Gabriel sampai mohon – mohon seperti itu. Tapi sekarang?

“Apa alasannya?”

“gue gak bisa kasih tau ke lo, yo..”

“Gue gak akan ikut lomba itu kalo lo gak mau kasih tau alasannya!”

“Yo..”

Rio tak menjawab, malah melipat tangannya didada.

Gabriel mendesah kesal, “apa perlu gue berlutut didepan lo?”

Rio kaget, apa? Ya tuhan. Ada apa dengan Gabriel? Bayangkan! Dia bahkan sampai rela berlutut! Apa sebenarnya alasannya? Apa mungkin ini ada hubungannya dengan Sivia?

“Sivia lagi? Iya?”

“bukan..”

“Lantas??”

Gabriel menghela nafas panjang, ya tuhan. Apa iya dia memang harus berlutut didepan Rio? Apa iya dia memang harus merendahkan harga dirinya? Ya, harus. Ini semua demi Sivia… demi putri masa kecilnya. Sebelumnya, sivia tidak pernah meminta satu hal pun dari Gabriel.. tapi sekarang? Gabriel tahu apa yang memang sivia inginkan… tapi apa harus dengan begini caranya? Berlutut? Didepan Rio?

Gabriel menguatkan hatinya, mencoba menghapus sekedar rasa gengsi, lantas menjatuhkan tubuhnya hingga tersungkur diatas lantai, kedua lututnya menjadi tumpuan, Ya, Gabriel benar– benar berlutut didepan Rio…. Dan ini semua, karena sivia.

Rio shock, ia panic. Ia tidak pernah menyangka Gabriel benar – benar akan berlutut dihadapannya, “Lo apa – apaan sih, iel? “

“Gue gak akan bangun sebelum lo setuju untuk ikut lomba itu…

Rio mendesah kesal, “gak, iel.. gak gini caranya!”

“terus gue harus gimana? Apa berlutut kayak gini belum cukup?”

“Gabriel!! Bangun lo! Lo gak perlu berlutut kayak gini…”

Gabriel menggeleng, menguatkan hatinya, “Gak, yo.. sebelum lo setuju..”

“Tapi, iel..”

“Gue mohon, yo… sekali ini aja, kabulin permintaan gue!”

Rio menghela nafas panjang, “Lo kenapa sih, iel? Pasti ada alasannya kan lo kayak gini? Apa alasannya?”

“Gak, yo.. ini urusan gue! Yo, gue mohon… untuk kali ini aja!” Pinta Gabriel.

Rio buang muka, muak, ya tuhan, Gabriel benar –benar serius dengan ucapannya.

“oke. Gue setuju, gue bakal ikut lomba itu..” Jelas Rio menyerah.

@@@

KRIIINGGG!!

Bel istirahat yang sudah dinantikan akhirnya terdengar juga, buru – buru Ify merapikan bukunya yang ada diatas meja,

“Ify..” Panggil seseorang.

Ify menoleh, mendapati sosok seorang cowok dengan postur badan yang tidak terlalu tinggi, berkacamata tebal, ditangannya ada setumpuk buku,

“Ify kan nama lo? Tanya cowok itu lagi. Ify menganggukan kepalanya, “Lo ditungguin Alvin diruang music, sekarang..”

Ify tertegun, hah? Alvin? Ruang music ? Tumben..

Ify menganggukan kepalanya tanda ia mengerti,

“Oh, ya udah, gue Cuma disuruh sampein aja ke lo..” Ujar cowok itu lagi, lantas bergegas pergi, tapi ify menahannya, “Eh, makasih…”

Cowok itu tersenyum kecil, lantas berlalu meninggalkan Ify.

@@@

Ify membuka pintu ruang music perlahan, matanya langsug menangkap sosok Alvin yang sedang asyik mendentingkan nada piano. Ify pun akhirnya memutuskan untuk masuk.

“Vin..”Sapa Ify.

Alvin menoleh, tersenyum lebar, “eh, fy.. duduk!”

Ify lantas langsung mengambil posisi disamping Alvin,“kok tumben vin pake nyuruh keruang music segala?”

Alvin tertawa kecil, “gak, gue iseng aja..” ujar Alvin lantas kembali memainkan nada, nada yang asing, tapi tetap nyaman terdengar.

Ify menganggukan kepalanya, lantas ikut menikmati alunan nada yang diciptakan oleh jemari – jemari Alvin… begitu indah.. tapi tiba – tiba Alvin menghentikan permainan piano-nya, suasana mendadak hening.

Ify menoleh, “kok berhenti, vin? Maen aja..” Alvin tidak menjawab, ia malah membalik tubuhnya menjadi benar – benar berhadapan dengan Ify. Perlahan tapi pasti, Alvin meraih kedua tangan Ify, menggenggamnya erat, lantas
menatap Ify dengan tatapan penuh cinta…

“Vin..” Ucap Ify, tidak sanggup mencari kata lain.

Alvin tertawa kecil melihat ekspresi terkejut diwajah Ify, tapi kemudian kembali menatap Ify….lantas membuka mulut, “Fy… gue suka sama lo..”

No comments:

Post a Comment